Siapakah Mafia Impoor BBM ?
Sedikit bernostalgia beberapa puluh tahun lalu, Indonesia bisa menepuk dada menjadi anggota klub bergengsi bernama OPEC.
Martabat Indonesia begitu terpandang ketika itu, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang berstatus eksportir minyak. Booming minyak Indonesia pula yang menyebabkan rezim Orde Baru era Soeharto mampu membangun Indonesia menjadi macan Asia yang disegani. Negara-negara donor begitu mudah percaya menyalurkan pinjaman lunak karena cadangan migas Indonesia masih begitu menjanjikan. Kaya minyak rupanya membuat rakyat berubah menjadi predator BBM yang sangat rakus. Tak ada kata hemat karena harga minyak ketika itu masih sepadan dengan harga sebotol air mineral. Dan ketika kita terjerembab menjadi negara importir minyak, kita segera tertunduk lesu, Indonesia pun hengkang dari OPEC karena merasa tak lagi pantas menjadi bagian dari klub eksportir minyak paling berpengaruh di dunia itu. Masa-masa seperti inilah kita mulai berteriak teriak bahwa ada gerakan-gerakan jahat dari para mafia Singapura maka manuver mereka akan sulit dideteksi oleh mata publik dan pengawas di Indonesia.
Apa yang dilakukan Petral sehingga seolah-olah mereka menjadi bagian dari jaringan mafia BBM?
a. Tender pembelian minyak oleh Petral dituding tertutup dan pada beberapa kasus bahkan Petral melakukan pembelian langsung tanpa tender. Masalah ini pernah berujung pertengkaran mulut bahkan nyaris bentrok antara Ade Daud Nasution (fraksi PAN DPR Rl) dengan VP Corporate Communication Pertamina di kantor Petral di Singapura.
b. Pembelian minyak oleh Petral banyak dilakukan dengan para broker (makelar) minyak, padahal ada peluang untuk melakukan transaksi langsung dengan produsen atau bahkan dengan skema G2G (antar pemerintah) yang diyakini akan jauh lebih murah.
c. Harga beli Petral lebih mahal dari rata-rata harga pasaran dunia. Dengan rata-rata US$ 113,85/bare!, Petral membayar harga yang lebih tinggi, sementara harga yang berlaku umum hanya sekitar US$ 90/ barel. Dari sini kecurigaan muncul bahwa Petral ikut bermain dengan para mafia BBM dengan meng-mark-up harga sebenarnya. Tak main-main, konon keuntungan dari permainan BBM mencapai Rp 10 milyar per hari.
d. Konon pada era Soeharto, Petral menjadi sapi perah dinasti Cendana lewat aksi Tommy Soeharto. Tommy menitip mark-up harga US$ 1-3 per barel. Sekarang kabarnya nama Muhammad Riza Chaud disebut-sebut sebagai “pengendali” bisnis Petral. Di Singapura, pria paruh baya keturunan Arab ini dijuluki “Gasoline God Father.” Diduga bahwa separuh impor BBM Indonesia dikuasai oleh pria ini. Kekuasaannya sangat besar dan banyak yang percaya bahwa pengaruhnya menembus hingga istana negara sejak zaman Soeharto hingga rezim hari ini.
Mafia BBM memang tak akan rela kehilangan kendali impor BBM. Labanya menggiurkan, karena nilainya sendiri sudah selangit-Rp 275 triliun per tahun! Apalagi hanya Petral satu-satunya yang berwenang membeli BBM. Maka menjadi masuk akal jika tangan-tangan mafia BBM berupaya mencengkeram Petral habis-habisan. Petral sendiri sudah membantah tudingan bahwa mereka menjadi bagian dari mafia, karena menurut mereka pola pembelian BBM sudah dilakukan terbuka dan transparan.
Kuatnya dugaan adanya kekuatan dahsyat yang mengendalikan BBM di republik ini juga dikaitkan dengan kebijakan pemerintah yang seolah alergi untuk menambah jumlah kilang pengolahan BBM di dalam negeri. Tahun 2000 kita memiliki 1.127 kilang, dan hanya bertambah menjadi 1.l58 Unit di tahun 2010. Konklusinya, hanya bertambah 0,3% dalam lo tahun. Bandingkan dengan negara-negara yang populasi penduduknya jauh lebih sedikit dan tidak memiliki cadangan minyak. Taiwan memiliki 732 kilang di tahun 2000, dan meningkat 64% menjadi 1.197 unit di tahun 2010. Korea, dan 2.598 di tahun 2000 menjadi 2.712 unit atau naik 5% di tahun 2010. Si ngapura dan 1.255 unit di tahun 2000 menjadi 1.385 unit di tahun 2010 (naik 10%). Selama 10 tahun terakhir banyak negara terus membangun kilang di dalam negeri untuk memperkuat ketahanan energinya seperti Cina (87%), India (67%) dan Thailand (40%).
Banyak orang percaya bahwa mafia BBM berusaha keras agar Indonesia tidak agresif dalam membangun kilang. Jelas, karena jika Indonesia memiliki banyak kilang produksi BBM maka omset mafia dan impor akan terjun bebas. Tak ada lagi untung puluhan miliar dalam sehari. Berbagai pembicaraan dengan sejumlah investor asing terkait pembangunan kilang di Indonesia selalu tak berujung. Semua menguap misterius. Alasan yang paling mudah adalah tingkat profitabilitas yang rendah dan masa pengembailan yang lama. Belum lagi negeri kita ini berstatus negara dengan pe ngelolaan kondisi investasi dan industri migas terburuk se-Asia. Bahkan, Iebih buruk dari Timor Leste dan Papua Nugini. Dengan pengaruh besar yang dimiliki para mafia ini, mereka selalu sukses menggagalkan niatan pembangunan kilang-kilang baru di dalam negeri. Kilang adaIah musuh nyata bagi pundi-pundi mafia.
Padahal, para pengamat perminyakan sudah memperingatkan bahwa kilang merupakan salah satu solusi untuk negeri ini agar memiliki ketahanan energi. Selain tentu saja berusaha untuk terus menemukan cadangan ladang-ladang minyak baru dan mencari terobosan teknologi untuk meningkatkan produksi minyak di sumur-sumur lama. Minyak adalah nyawa bagi sebuah negeri, dan alangkah berbahayanya jika para mafia yang justru menguasainya dan bukan negara.



