Bagaimana Yakuza Memutar Roda Ekonominya?

Bagaimana Yakuza Memutar Roda Ekonominya?

Meskipun aktivitas Yakuza sudah dimulai sejak memasuki awal tahun 1970, namun hingga tahun 1980-an, Keisatsu-cho (Badan Kepolisian Jepang) bersikukuh bahwa tidak ada Yakuza di luar negeri.

Bahkan mereka mengatakan bahwa Yakuza tak terdaftar sebagai sindikat kejahatan. Faktanya, seiring dengan ekspor elektronik dan mobil, Jepang turut mengekspor gangster ke seluruh penjuru dunia. Pengingkaran Jepang terhadap eksistensi Yakuza di negeri terbantahkan dengan banyaknya kritik dari berbagai polisi di dunia mengenai sepak terjang pria-pria bertato di sekujur tubuh itu dalam dunia kriminal. Jepang tak bisa membantah mengenai ganasnya Yakuza yang diekspor ke negara-negara lain berdasarkan cerita dari diplomat asing yang ditempatkan di Jepang, dan diplomat Jepang yang bertugas di luar negeri.

Dua komoditas utama yang menggerakkan Yakuza secara global yaitu seks dan narkoba. Seiring dengan peningkatan ekonomi Jepang pasca keruntuhan Perang Dunia II, banyak pria-pria Jepang memiliki banyak uang untuk dibelanjakan dan Intuisi bisnis Yakuza tajam pada sektor ini. Dengan bekerja sama pada perusahaan penerbangan dan agen-agen pariwisata, Yakuza menggeliatkan sex tour bagi pria-pria Jepang. Luar biasa antriannya. Yakuza berkolaborasi dengan para germo dan gangster di Korea, Thailand, Taiwan, dan Philipina untuk mempersiapkan klub-klub malam plus perempuan-perempuan cantik di Korea yang disebut Kisaeng. Dalam salah satu buku panduan Japan Airlines (JAL) pernah disarankan anjuran menikmati pesta Kisaeng jika ingin berlibur di Korea. Kementerian Pariwisata Jepang ketika itu mengungkapkan suatu hasil survey yang mengejutkan bahwa 80% pria Jepang berlibur ke luar negeri untuk mencari kenikmatan dari para Kisaeng.

Dahsyatnya bisnis syahwat Yakuza paling nyata tercermin dari statistik perjalanan orang Jepang ke luar negeri, terutama ke negara-negara Asia Timur yang menawarkan tur seks, seperti Korea, Taiwan, Filipina, dan Thailand. Di keempat negara itu, 80% hingga 90% wisatawan Jepang adalah pria. Berbeda dengan tujuan wisata alam dan sejarah seperti Amerika dan Prancis, jumlah wisatawan pria dan wanita Jepang nyaris fifty-fifty. Fakta ini menunjukkan bahwa di Asia Timur, Yakuza mendapatkan kucuran duit luar biasa dari bisnis esek-esek.

Satu lagi bisnis Yakuza yang bisa dikatakan motor penggelembung pundi-pundi ekonomi adalah perdagangan meth yang di Jepang disebut shabu. Jenis narkotika ini sangat populer di Jepang sampai-sampai Jepang mendapatkan gelar sebagal ibukotanya meth dunia. Bagaimana tidak, di tahun 1998 saja jumlah pecandu di Jepang sudah 2,2 juta orang dari kurang 100 juta penduduk di tahun itu. Bandingkan dengan Indonesia yang katanya sudah darurat narkoba, jumlah pecandunya di tahun 2012 “baru” 5 juta dari 240 juta penduduk. Yakuza mengambil peluang berbisnis meth dengan alibi bahwa orang Jepang yang terkenal workaholic membutuhkan zat-zat kimia penambah stamina untuk bekerja sangat keras. Ini sama seperti seleb-seleb Indonesia yang berpaling ke drugs untuk mendapatkan tenaga kuda agar bisa bekerja siang dan malam. lronisnya, budaya menggunakan metamfetamin sudah demikian mengakar di Jepang bahkan sejak Perang Dunia. Ketika itu pilot dan tentara dibagikan metamfetamin untuk menambah semangat dan energinya.

Sumber : Buku 'Konspirasi' Alfred Suci

0 comments:

Post a Comment