Kepentingan di Balik Media

           Jika anda ingin menjadikan seorang bandit yang dicitrakan sebagai nabi, medialah tempatnya.
Pun jika anda ingin membanditkan seorang suci, maka medialah tempatnya. Seperti itu perkasanya peran media dalam strategi pencitraan, sehingga seorang berani menggelontorkan duit miliaran hanya untuk dicitrakan sebagai sesuatu yang bisa menguntungkan dirinya. Meski, banyak dari mereka sedang menggunakan topeng atas seringai licik di baliknya. Independensi media menjadi terancam oleh kepentingan segelintir pemilik kapital luar biasa. Gina Rinehart, wanita terkaya di dunia dengan harta sebesar 272 triliun rupiah membuat para pejabat di Australia ketar-ketir dengan sepak terjangnya mencaplok kelompok media Fairfax Media yang berpengaruh di Australia. Tiga ratus surat kabar, 50 portal berita dan 15 stasiun radio dikhawatirkan akan menjadi corong Gina untuk melawan pemerintah. Dengan saham mayoritas yang dimilikinya, Gina ingin mengendalikan isi berita. Selama ini Gina sangat terkenal menentang isi kebijakan Perdana MenteriJulia Gilard. Pasalnya, Gina merupakan taipan bisnis pertambangan enolak keras rencana penarikan pajak sebesar 30% dari laba perusahaan tambang dan penarikan biaya 23 dolar untuk setiap metrik ton emisi karbon dioksida. Hasilnya menjadi dampak polusi dari bisnis tambang miliknya.

           Benar bahwa kebijakan pers di Australia mengatur pemilik media untuk tidak mencampuri editorial berita. Namun, langkah-langkah Gina mengincar posisi wakil direktur utama pada masalah editorial semakin menguatkan pada sebuah kekawatiran. Gina ingin menggiring opini publik untuk melawan kebijakan pemerintah. Bahkan pemimpin tertinggi Fairfax sendiri, Roger Corbett sampai perlu menawarkan dua kursi direksi untuk Gina dengan satu syarat, "Menjauhlah dari editorial!"

           Sebenarnya apa yang dilakukan Gina juga menjadi fenomena di negeri kita sendiri. Terjadi persekongkolan pemilik media untuk menunjukkan citra yang baik bagi dirinya dan tendensi "menghancurkan" lawan bisnis dan politik dengan praktik-praktik pemberitaan yang tak berimbang. Salah satu partai besar di Indonesia pernah beberapa kali protes karena pemberitaan Metro TV dan TVOne yang dianggap selalu menyudutkan partai besar tersebut.

           Sangat mengerikan jika jurnalisme diintervensi oleh kepentingan. Artinya, hilanglah sudah independensi, obyektivitas, dan etika berita. Masyarakat akan disuguhi dengan kepalsuan yang begitu meyakinkan. Kesalahan para pendosa akan disembunyikan dan diganti dengan topengnya yang seolah suci dan berprestasi. Kepalsuan akan menjadi kebenaran yang direkayasa, sementara kebenaran hanya mengendap tak bersuara karena diberangus oleh kepentingan. Tinggal kita sebagai pemirsa yang harus cerdas menelaah agar otak kita tidak disusupi oleh indoktrinasi kepentingan tertentu. Jika anda bisa lebih mengkritisi atau memetakan pihak mana saja yang berdiri dibelakang media tertentu, kita akan bisa memaklumi jika ada pencitraan-pencitraan "malaikat" yang coba disuguhkan ke ruang keluarga kita. Jika begitu, Anda akan bisa berkata, "Ooaallaahhh... ya pantes, wong yang punya tipinya dia toh."
Kepentingan di Balik Media

           Kasus yang terjadi di Indonesia sendiri dibingkai dalam film 'Di Balik Frekuensi' mengangkat perjuangan Luviana, seorang Jurnalis Metro TV yang ingin memperjuangkan haknya. Luviana seorang Jurnalis dengan seorang suami dan seorang anak mempertanyakan nasibnya yang tanpa alasan yang jelas dipindah tugaskan di bagian HRD. Luviana yang berjiwa jurnalis tentu tidak ingin pindah tugas tanpa sebelumnya diberikan alasan yang jelas. Ketika mempertanyakan mengapa ia dipindah tugaskan, bukannya mendapat jawaban, Luviana malah mendapat teguran, sungguh ironi tersendiri bagi seorang buruh.
Berbagai perjuangan dilakukan Luviana untuk memperoleh haknya. Dari pertemuan dengan para petinggi Metro TV, aksi unjuk rasa yang dilakukan dengan segelintir kawan seperjuangan, hingga pertemuan dengan Surya Paloh pemilik Metro TV. Namun apa daya, itu semua tidak membuahkan hasil. Luviana yang sudah tidak mendapat gaji sejak Juni 2012 malah mendapatkan surat PHK resmi dari Metro TV.
           Dalam pemberitaan kasus Luviana, berbagai media menampilkan pemberitaan melalui perspektif atau sudut pandang yang berbeda-beda. Metro TV menampilkan pemberitaan yang tentunya membela Surya Paloh dan membenarkan sikap Metro TV, sedangkan media yang lain dengan kepentingan masing-masing membuat pemberitaan yang seakan-akan iba dengan nasib  Luviana. Kalau sudah begini, lantas masyarakat harus melihat pemberitaan dari sudut pandang mana?
Kasus yang kedua mengangkat perjuangan Korban Lumpur Lapindo Hari Suwandi dan Harto Wiyono yang berjuang untuk memperoleh haknya. Dalam kasus ini diceritakan bahwa Hari Suwandi dan Harto Wiyono dalam perjuangan menuntut haknya berjalan kaki selama 25 hari dari Porong hingga Jakarta. Ketika di Jakarta mereka ingin bertemu dengan Aburizal Bakhrie, hal ini dimaksudkan agar korban Lumpur Lapindo cepat mendapatkan haknya sehingga mendapatkan kehidupan yang normal seperti dulu kembali.
Dalam perjuangannya Hari Suwandi yang berjalan kaki didampingi oleh Harto Wiyono yang mengendarai motor dengan membawa berbagai perlengkapan yang dibutuhkan cukup mendapat sambutan hangat dari masyarakat pada setiap kota yang dilewatinya. Masyarakat memberikan semangat dan dukungan mental hingga dari segi finansial. Perjuangan mereka benar-benar menggambarkan bahwa mereka sangat menginginkan haknya diperoleh dan dapat hidup normal kembali.
Namun ada yang lucu dalam pemberitaan mengangkat kasus ini. TV One yang dimiliki Aburizal Bakhrie sekaligus pemilik Lapindo, membuat pemberitaan yang menggambarkan bahwa para korban lumpur lapindo telah mendapatkan haknya dan telah bahagia sejahtera kembali. Bahkan dalam pemberitaan yang mengangkat kisah Hari Suwandi dan Harto Wiyono ini TV One membuat pemberitaan yang mengatakan bahwa ada kepentingan unsur politik dalam kasus ini, dimana Hari Suwandi bukanlah korban  Lumpur Lapindo, melainkan warga dari desa lain yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu oleh pihak lain.
Tidak demikian dengan pemberitaan media lain, sebut saja Metro TV, yang mengatakan cukup bersimpati dengan perjuangan Hari Suwandi dan Harto Wiyono. Selain itu Metro TV juga membuat pemberitaan yang menyatakan bahwa korban lumpur lapindo belum sepenuhnya mendapatkan haknya kembali dan masih belum kembali seperti kehidupan semula. Kisah yang sama namun dengan berita yang berbeda, lantas masyarakat harus melihat dari pemberitaan yang mana?
Akhir dari perjuangan Hari Suwandi dan Harto Wiyono tidak seindah perjuangan mereka diawal. Ketika mereka berjuang bersama-sama, ternyata tidak diakhiri dengan kebersamaan. Tanpa sepengetahuan Harto Wiyono, Hari Suwandi tampil di TV One dan dengan menangis Hari Suwandi meminta maaf kepada Aburizal Bakhrie atas perbuatannya menuntut hak para korban lumpur lapindo. Dalam pemberitaan tersebut Hari Suwandi meminta maaf dan menyesali perbuatannya. Sejak saat itu, Hari Suwandi tidak kembali lagi ke desanya, Hari Suwandi menghilang, apa yang terjadi dan mengapa itu terjadi, belum terungkap hingga saat ini, sungguh semuanya sebuah ironi.
Bukan hanya itu yang terjadi di balik frekuensi. Dalam film ini terdapat sepenggal kisah mengenai MNC Group dengan pemiliknya Hary Tanoesoedibjo. Hary Tanoesoedibjo yang sempat tersandung kasus korupsi juga membawa polemik tersendiri. Berbagai media menayangkan pemberitaan mengenai kasus korupsi ini. Namun lagi-lagi ada perbedaan dalam penayangan pemberitaannya. Apabila media lain mengungkapkan Hary Tanoesoedibjo dan korupsi yang dilakukannya, maka tidak dengan RCTI. Media massa RCTI ini lebih mengungkapkan kebaikan Hary Tanoesoedibjo dalam menjalani kasus ini. sebut saja dalam satu pemberitaan di RCTI yang mengatakan bahwa ‘Hary Tanoesoedibjo berinisiatif sendiri mendatangi KPK’, dari pemberitaan ini jelas ingin menunjukkan bahwa Hary Tanoesoedibjo adalah orang yang bertanggung jawab dan memiliki etiket yang baik.
Sekarang pertanyaannya, lantas masyarakat harus memandang pemberitaan dari sudut yang mana? Kalau saja setiap media menampilkan pemberitaan dengan perspektif pemiliknya.
Konglomerasi media memang sudah semakin merajalela. Para buruh dibawahnya mengikuti kata pemiliknya. Sistem ini sudah berjalan secara otomatis, dan para jurnalis sudah mengetahuinya. Namun apa daya, hanya segelintir orang yang berani melawannya, salah satunya adalah Luviana, namun ia tetap tak kuasa.

0 comments:

Post a Comment