Ramai-Ramai membunuh KPK

Ramai-Ramai membunuh KPK

Konspirasi - Semakin hari KPK semakin nekat dan tanpa pandang bulu menggilas siapa saja yang terbukti tidak amanah dengan sumpah jabatannya ketika dilantik dulu. Kita tahu, pada era Antasari Azhar, tak peduli besan Presiden, KPK tetap mengirimnya ke balik jeruji besi. Pada zarnan Abraham Samad lebih edan lagi, seorang menteri yang masih aktif, Andi Malarangeng harus merasakan pisau KPK yang sangat tajam dengan berani menempelkan cap tersangka kepadanya. Untuk anggota dewan di Senayan, jangan ditanya lagi. Di luar kasus Hambalang dan proyek Percepatan Pembangunan lnfrastruktur Daerah (PPID), sudah 45 orang dari mereka yang “dikandangkan”. Maka tak heran, ada kegelisahan dan ketakutan luar biasa pada diri pejabat pemerintahan atas sepak terjang KPK yang mungkin saja akan segera mengarahkan ujung pistolnya ke pada mereka. Solusinya: Bunuh KPK!

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa ada sebuah konspirasi maha besar yang dilakukan. Mereka yang gelisah dengan kekuatan dan integritas KPK yang di atas ratarata penegak hukum lain, pasti akan melakukan sebuah konspirasi tertentu. Ketika banyak sekali penghargaan yang diterima KPK atas integritas dan efektivitas kerjanya, sementara aparat hukum lain seperti kejaksaan, kepolisian, dan lembaga peradilan Justru konsisten berada di ceruk kinerja paling buruk dan tidak bisa dipercaya. Karenanya, perlu strategi ampuh untuk meredam laju KPK. Meskipun semua ramai-ramai rnengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah demi kebaikan KPK, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Masyarakat bukanlah sekumpulan kambing congek yang begitu tololnya menerima semua penjelasan tak masuk akal yang mereka lakukan.

Peristiwa terakhir yang menjadi ulah kepolisian akibat dugaan kong kalikong proyek simulator oleh Direktorat Lalu Lintas menyeret seorang Irjen kepolisian Djoko Susilo sebagai tersangka. Hal ini semakin menegaskan bahwa ada aroma untuk menekan gerak cepat dan tepat yang dilakukan KPK untuk membersihkan kepolsian dari sejumiah oknum polisi korup.

Dulu hal yang sama pernah dilakukan KPK Hong Kong, ketika peluru pertama yang mereka tembakkan untuk memberantas korupsi di negara itu adatah kepolisian. Namun, pada akhirnya KPK Hongkong berhasil menjadikan negara itu sebagai salah satu barometer kesuksesan lembaga pemberantasan korupsi sedunia.

Bandingkan dengan apa yang dilakukan kepolisian republik ini ketika perwira tinggi aktifnya dikandangkan dan dijadikan tahanan oleh KPK, Sejak awal proses penggeledahan yang dilakukan KPK ke Direktorat Lalu Lintas Polri. Di situ telah terlihat kepongahan sejumlah polisi yang menghalang-halangi proses penggeledahan. Tak hanya itu, meskipun mereka tahu KPK sudah lebih dulu menyelidiki kasus simulator, malah dengan sewenang-wenang Polri Juga ikut menyidik kasus yang sama. Tak heran, banyak yang menduga bahwa apa yang dilakukan Polri karena mereka khawatir kasus simulator akan merembet lebih luas yang bisa menyeret jenderal-jenderal aktif maupun yang sudah pensiun.

Di tengah kemelut berkepanjangan, mendadak saja muncul “skenario” dari Polda Bengkulu yang ingin menangkap Novel Baswedan, penyidik top KPK yang paling getol menyidik kasus simulator. Alasannya, Novel telah melakukan tindak penganiayaan delapan tahun yang lalu yang berujung kematian seseorang ketika la masih bertugas di Bengkulu. Presiden SBY turun tangan dan secara tersirat mengirim sinyal agar Polri mundur dari sikap gegabahnya yang ingin menangkap Novel. Tak puas di situ, lagi-Lagi Polri melakukan langkah-langkah yang sulit untuk tidak dipercava bahwa langkah itu merupakan bagian dan pelemahan struktur KPK. Polri menarik secara besar-besaran para anggotanya yang ditugaskan di KPK. Dari sisi prosedural tentu apa yang dilakukan Polri tidak salah, namun dilihat dari sisi efektivitas dan urgensinnya, wajar jika kemudian masyarakat menilai kepolisian ingin mengebiri KPK dengan cara “mengganggu” solidaritas penyidik KPK.

Tak lama, terjadi lagi tindakan tidak etis yang dilakukan oleh Komisi I (hukum) DPR yang memanggil sejumlah polisi mantan penyidik KPK untuk mendengar keluh kesah selama mereka bertugas di KPK. Sekali lagi, ini langkah yang halal secara hukum, namun sama sekali tidak etis. Apalagi, tindak-tanduk DPR salama ini banyak yang mengarahkan persepsi masyarakat bahwa mereka ingin melemahkan wewenang dan kekuatan KPK. Tak sekali dua kali terdengar suara nyaring dari Senayan untuk membubarkan KPK.

Tentunya mereka beralasan KPK tidak lagi menunjukkan kinerjnya yang efektif. Padahal, KPK kita didaulat untuk menjadi acuan efektivitas lembaga penegakan korupsi dunia, karena memiliki tingkat 100% berhasil memenjarakan seluruh pelaku yang dijadikan tersangka. Dunia mengakui ini. Jika acuan untuk membubarkan sebuah lembaga adalah efektivfitas dan kinerja yang bobrok maka bukankah seharusnya DPR sebagai lembaga yang pertama kali harus dibubarkan!


Ulah parlemen semakin memuakkan, ketika mereka dengan begitu saja menahan anggaran pembangunan gedung KPK yang telah dlsetujui pemerintah. Alasannva tidak mendesak, dan KPK adalah lembaga ad hoc (khusus atau kondisional). Gedung KPK saat ini berdiri sejak tahun 1981 dan berkapasitas hanya 350 orang. Namun harus dijejali dengan 650 orang pegawai KPK. Apanya yang tidak mendesak? Wisma Atlet seharga 200 miliar dan Wisma Nambalang seharga 2,5 triliun justru dengan cepat disetujui.

Padahal, proyek itu adalah hura-hura dunia olahraga dan tak terbukti menyeret banyak pejabat sebagai pesakitan, karena adanya korupsi berjamaah yang dilakukan di kedua proyek itu, Pemaknaan ad hoc sebagai sementara juga dinilai sebagai langkah penyesatan logika yang dilakukan oleh DPR.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ad hoc berarti khusus, dalam bahasa latin artinya dibentuk untuk satu tujuan saja. Maka, dalam konteks KPK tujuannya hanya satu, yaitu pemberantasan korupsi. Jadi adalah sesat jika DPR menyatakan bahwa KPK adalah lembaga yang bersifat sementara.

Perkara membunuh KPK bukan kali ini saja diwacanakan, bahkan sejarah mengajarkan kepada kita bahwa sebagian dan skenario itu sukses besar.

  • Pada masa Orde Lama, pernah ada Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dibentuk untuk menganalisis data-data kekayaan pejabat dalam bentuk isian formulir. Alhasil, para pejabat melawan, dan berargumetasi yuridis, bahwa mereka hanya bertanggung jawab dan melapor kepada presiden. bukan ke Paran. Mereka pun menolak menyerahkan formulir kepada Paran. Ditambah dengan kekacauan politik ketika itu, Paran pun tewas secara tragis, dan menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.

  • Operasi Budhi di tahun 1963 yang tujuannya menyeret pelaku korupsi perusahaan dan penyelenggara negara ke pengadilan. Namun. Interversi politik membunuh lembaga ini

  • Memasuki era Orde Baru, mantan Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantas Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung pada tahun 1967. TPK sama mandulnya dengan Komite 4 (1970) dan Operasi tertib (Opstib) yang dikomandani Laksmana Sudomo di tahun 1977. Tujuannya memberantas korupsi pada era Orde Baru, karena adanya keengganan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk menindak lanjuti temuan-temuan penyelewengan uang negara yang dilakukan oleh sejumlah pejabat eksekutif. yudikatif. legislatif hingga pejabat-pejabat di BUMN. Semua lembaga anti korupsi pada era Orde Baru itu segera saja masuk ke liang lahad yang sudah disiapkan oleh para koruptor.

  • Pada masa awal reformasi di bawah kepemiminan Presiden (alm) Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga pernah ada Tim Gabungan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (TGPTK) yang dipimpin oleh mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Habis-habisan timbul perlawanan dari pihak yang dicurigai dan disponsori oleh barisan koruptor. Melalui uji materi ke Mahkamah Agung. maka Keppres No 19 tahun 2009 mengenai pembentukan TGPTK pun tumbang. Lembaga anti-korupsi harapan rakyat itu mati mengenaskan.
Sumber : buku 'konspirasi' - Alfred Suci

0 comments:

Post a Comment