Poros Intelijen-Politisi-Mafia Rusia

Pada masa perang dingin antara blok Rusia dan AS, intelijen negara memainkan peranan sangat vital. Mereka melakukan seluruh pekerjaan kotor pemerintah atas nama kepentingan negara.

Membunuh, menculik, memprovokasi, sabotase, teror, pemboman, seluruh kegiatan spionase kotor yang dibutuhkan untuk membela negara dari arogansi blok barat pimpinan AS. Semangat membela negara begitu pekat untuk mengimbangi kekuatan barat yang didukung dengan modal raksasa. Sementara, blok timur unggul dalam hal militansi dan patriotisme. Namun ketika tembok pemisah antara barat (demokrasi) dan timur (sosialis) runtuh, peran intelijen seakan mandul. Tak ada lagi riuh ledakan bom, tak ada lagi kegiatan pengintaian, menggorok agen musuh di ruang gelap, menculik dan menghilangkan musuh negara. Semua itu seakan menjadi nostalgia sejarah. Namun celakanya, semangat para intelijen itu tidak serta merta runtuh bersama dengan perdamaian antara blok barat dan timur. Energi mereka masih membara, kebiasaan melakukan pekerjaan-pekerjaan kotor masih sedemikian meraja pada jiwa mereka. Dan, ketika pilihan untuk menyalurkan energi itu atas nama negara tak tersedia lagi, yang ada hanya pilihan paling rasional. yaitu menyalurkannya ke dunia kejahatan yang penuh intrik dan kekerasan.

Ketika komunisme Rusia mengerdilkan dan berganti dengan api demokrasi dan kapitalisme ala barat, saat itu juga ancaman yang dihadapi negara kali ini bukan lagi berasal dari eksternal. Namun, musuh-musuh justru lahir dari rahim Mother Rusia itu sendiri, mereka adalah para mantan KGB, badan intelijen eks Uni Sovyet yang terkenal kejam pada masa perang dingin. Dengan kemampuan intelijen, kemahiran, akses ke persenjataan, dan dokumen-dokumen rahasia negara yang dimiliki, mereka pun menjelma menjadi bandit-bandit besar yang mampu mengembangkan sayap hingga ke Israel, Spanyol, Inggris, Kanada, Jerman, dan tentu saja berbagi porsi kejahatan dengan para gengster dari negara lain seperti Yakuza, Triad, dan keluarga mafia Italia di tanah Amerika Serikat. Tidak main-main, anggota mafia Rusia bisa mencapai setengah juta orang, mulai dari tukang antar, artis, mucikari, pembunuh bayaran, hingga para politisi elite yang disusupkan ke badan-badan pemerintah. Bisnisnya sangat masif, mulai dari restoran, kasino, pelacuran, narkoba, keamanan, senjata ilegal, kapal pesiar, video porno, penyelundupan hingga pengeboman. Booming minyak di Rusia yang sangat besar juga mereka masuki untuk mencuci uang hasil kejahatannya.

Upaya mereka berkembang luas tentu tak lepas dari perlindungan polisi dan politisi korup. Bahkan, sejumlah diplomat negara asing dengan lantangnya menuding Rusia telah menjelma menjadi negara mafia. Karena ada poros yang terbentuk antara politisi-polisi-mafia yang sedemikian kuat sehingga nyaris tak tersentuh oleh hukum. Hal ini terungkap dalam salah satu bocoran Wikilieaks yang sempat menghebohkan beberapa waktu itu. Dalam salah satu bocoran yang dimuat koran Inggris, Guardian, Januari 2010, dinyatakan bahwa seorang jaksa Spanyol, Jose Grinda Gonzales, mengklaim bahwa masyarakat tidak bisa lagi membedakan antara kegiatan pemerintah dengan kejahatan terorganisasi di Rusia. Semuanya seolah menjadi satu kesatuan. Gonzales mendapatkan informasi itu justru dari mantan agen KGB, Alexander Litvinenko, dia membuka rahasia bahwa badan intelijen Rusialah yang sebenarnya menjadi kekuatan tak terlihat yang mengendalikan kejahatan di Rusia, dan sama dengan agen-agen mereka yang menyaru sebagai politisi di berbagai partai yang berpengaruh di sana.

Bagi mafia Rusia, nyawa sangatlah murah harganya. Anggota mafia Rusia berani dan sangat mudah menerima pesan pembunuhan dengan hanya upah US$200, atau sekitar dua juta rupiah untuk satu nyawa. Kenekatan seperti ini adalah penyebab banyaknya penegak hukum takut unutk mengambil posisi yang berlawanan. Karena, anggoa mafia Rusia bisa dengan mudah datang ke sekolah anak-anak para musuh mereka, dan kemudia menculik atau bahkan membunuhnya. Nyaris tak ada pengusaha yang berani menolak, ketika mafia memungut pajak keamanan sebesar 10% pada setiap kontainer ekspor-impor yang masuk ke pelabuhan. Anehnya, para pengusaha itu justru lebih rela membayar mafia, karena dianggap lebih murah dan aman ketimbang membayar polisi.

0 comments:

Post a Comment