John Kei, Jakarta God Father?


Bisa dibayangkan kengerian dimata Tan Harry Tantono alias Ayung, bos Sanex Steel, ketika sedang menghadapi maut saat menghadapi belasan pria sangar dihadapannya.

Kematian tak biasa sudah membayang di pelupuk mata. Bahkan, siksa ajal yang diterimanya jauh lebih dahsyat dari pada yang bisa dibayangkannya. Seakan nyawanya berebut keluar meloncat dari setiap liang tusukan pisau yang dibenamkan ke leher, dada, perut, dan membelah tenggorokan! Belum lagi sejumlah luka pukulan yang harus diterimanya tanpa bisa melawan keroyokan sejumlah pria yang menjadi algojo untuk nyawanya. Malam jumat 26 Januari 2012, Ayung tak sempat lagi berpamitan, karena nyawanya keburu direnggut paksa oleh sejumlah komplotan yang diduga menjadi pengendali dunia kriminal Jakarta, John Refra Kei alias John Kei.

Hasil rekaman cctv di Swiss-Belhotel tempat terjadinya malam maut itu menunjukkan bahwa Kei bersama komplotannya memasuki kamar hotel 2701 sejak pukul 21.28, dan baru keluar pada pukul 22.32. Visum menyatakan bahwa kematian Ayung juga terjadi disekitar waktu tersebut, sehingga sulit bagi Kei untuk menghindari dari vonis 12 tahun penjara akibat melanggar pasal pembunuhan berencana bersama anak buahnya. Versi pengacara Kei, bahwa kliennya tidak lama bertemu dengan Ayung karena ia diminta untuk keluar kamar saat ada pembicaraan Ayung dengan Muklis dan Chandra, dua orang terdakwa yang ikut melakukan pembunuhan. Namun temuan CCTV seolah membantah keterangan pembelaan diri yang disampaikan pengacara Kei.

Polisi punya cerita lain. Kei dituduh membunuh Ayung karena masalah uang penagihan hutang. Karena Kei adalah deep collector yang belum dibayar oleh Ayung. Jumlahnya fantastis, 600 juta! Konon, kelompok Kei bisa melakukan apa saja untuk menagih hutang yang hampir tak mungkin ditagih dengan cara-cara biasa. Mulai dari ancaman hingga membunuh bisa dilakukan mereka. Selain motif fee, ada dugaan lain bahwa Kei cs sengaja membunuh Ayung karena pesanan dari rival bisnis Ayung yang tak senang dengan ambisi Ayung menguasai berbagai proyek besar, Salah satunya jembatan Selat Sunda.

Latar belakang Kei dan Angkatan Muda Kei-nya (Amkei) di dunia kriminal menjadi profil pendukung bagi kepolisian dalam menduga bahwa Kei csterlibat dalam pembunuhan brutal itu. Pria sangar yang sebelumnya luntang-lantung di Surabaya ini akhirnya hijrah ke Jakarta pada tahun 1987 dan mulai menanamkan kukunya di kawasan Berlan, Jakarta Pusat. Selain bernyali, Kei juga pandai bergaul, sehingga ia dengan cepat dituakan oleh para preman disana. Tak heran, sejak tahun 1998 ia didapuk menjadi ketua besar Amkei dan belum pernah tergantikan hingga hari ini. Dari sini Kei merambah ke usaha jasa pengamanan, penagihan hutang, hingga bisnis-bisnis 'putih' seperti konsultan hukum dan sasana tinju pun dilakoninya.

Uang mengalir dengan mudah, semudah darah yang harus dikucurkan untuk menjalankan bisnisnya tersebut. Ayunan golok, sabetan pisau hingga letusan pistol menjadi bagian sehari-hari, baik yang dilakukan kelompoknya maupunlawan-lawannya dibawah langit Jakarta. Perebutan kekuasaan dengan geng Basri Sangaji 2004 menyeret luka Basri dengan luka tembak di dada. Kemaiannya itu ketika ia sedang berada di kamar 301 Hotel Kemayoran Inn, Jakarta Selatan. Sebelumnya, Kei sudah diserang oleh geng Basri di Diskotik Zona yang menyebabkan tiga jari tangannya tak bisa digerakkan hingga kini. Dengan segala cara Kei lolos dari jeratan hukum.

Konflik perebutan jasa keamanan di Diskotik Blowfish, Jakarta Selatan, pada April 2010, memicu adu jotos  dan saling tebas antar kelompok Kei dengan kelompok Flores yang dikomandani oleh Thalib Makarim. Dua arang dari kubu Kei tewas. Pertempuran berlajut di depan gedung pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lagi-lagi kubu Kei kehilangan 2 orang. Saking hebatnya kekuatan gengster ini, bahkan polsi tak sanggup menghentikan sejumlah preman yang mengayun-ayunkan parang dan mengacung-acung pistol tepat didepan hidung polisi.

Kei sempat tersungkur pada 2008 ketika Densus 88 menangkapnya di Maluku akibat penganiayaan berat yang dilakukannya bersama adiknya Tito Refra, terhadap Charles Refra dan Remi Refra yang mengakibatkan kedua jari-jari pemuda itu putus. Bukan Kei namanya jika para loyalisnya bertindak brutal dan menebar ancaman. Saat iu persidangannya pun dipindah dari Maluku ke Surabaya. Namun begitu, hukuman yang diterima John dan Tito Kei hanya menghasilkan 8 bulan kurungan di Surabaya. Kei baru benar-benar terjerembab untuk waktu yang lama atau bahkan kemungkinan dieksekusi mati pada kasus pembunuhan Ayung ini.

Layaknya cerita-cerita mafia yang sering kita lihat, Kei juga memiliki kebiasaan filantropis (dermawan) yang sering kita lihat, Kei juga memiliki kebiasaan filantropis (dermawan) yang sering ditunjukkannya. Ia membangun gereja dikampung halamannya dan rumah Pastor di pulai Kei, Maluku. Tak main-main, niaya pembangunannya miliaran rupiah, dan itu difelontorkan dari kocek Kei. Tak heran, ia laksana pahlawan dikampung halmannya. Pemuda-pemuda Pulau Kei juga banyak dibantu olehnya ketika merantau ke Jakarta, meskipun sebagian besarnya justru ikut menjadi gerombolan Amkei yang terlatih dengan kehidupan keras dan berdarah-darah di dunia kriminal Jakarta. Dedikasi mereka unutk Kei tak main-main, karena harga nyawa mereka rela digadaikan untuk membela kehormatan "keluarga Kei."

0 comments:

Post a Comment